Senin, 11 April 2011

Qosidah Habib Syech


Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri (Alm.) Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf. Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf  mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW , salah satunya dengan mendirikan majelis Sholawat "Ahbabul Musthofa". Berikut beberapa Qosidah Habib Syech, mudah-mudahan bermanfaat : 

Minggu, 10 April 2011

Terima Kasih Ibu . . .

Saat usia setahun, ibu suapkan makanan dan memandikan kita. Cara kita mengucapkan terima kasih kepadanya hanya dengan menangis sepanjang malam.
Saat kita berusia 2 tahun, ibu mengajarkan kita bermain. Kita ucapkan terima kasih dengan lari sambil ketawa terkekeh-kekeh apabila dipanggil.
Ketika berusia 3 tahun, ibu menyediakan makanan dengan penuh kasih sayang. Kita ucapkan dengan menumpahkan makanan.
Setelah berusia 4-5 tahun, ibu membelikan sekotak pensil warna dan pakaian. Kita ucapkan terima kasih dengan mencoret-coret dinding dan berguml di tempat yang kotor.
Ketika berusia 6 tahun ibu membimbing tangan kita ke SD. Kita ucapkan terima kasih dengan menjerit : “tidak mau! Tidak mau”.
Ketika berusia 7 tahun, ibu belikan sebuah bola. Kita ucapkan terima kasih dengan memecahkan kaca rumah.
Menjelang usia 8 tahun, ibu belikan es krim. Kita ucapkan terima kasih dengan mengotorkan pakaian ibu.
Setelah berusia 9 tahun, ibu mengantarkan ke sekolah. Kita ucapkan terima kasih kepadanya dengan membolos sekolah.
Usia 10-11 tahun, ibu menghabiskan waktu sehari suntuk menemani kita kemana saja. Kita ucapkan terima kasih dengan lebih asyik bermain dengan teman-teman.
Genap usia 12 tahun, ibu menyuruh kita mengerjakan PR sekolah. Kita ucapkan terima kasih dengan lebih senang menonton televisi dari pada belajar.
Menjelas usia 15 tahun, ibu suruh pakai pakaian menutup aurot. Kita ucapkan terima kasih kepadanya dengan memberitahu bahwa pakaian itu tidak sesuai dengan zaman sekarang.
Ketiaka usia 18 tahun, ibu menangis gembira ketika tahu kita diterima masuk di universitas. Kita ucapkan terima kasih dengan berpesta dengan teman-teman.
Menjelang 20 tahun, ibu bertanya apakah kita punya teman istimewa?. Kita malah berkata : “itu bukan urusan ibu”.
Ketika berusia 25 tahun, ibu bersusah payah menanggung pernikahan kita. Ibu menangis dan memberi tahu betapa dia sangat menyayangi kita, tetapi kita ucapkan terima kasih kepadanya dengan berpindah jauh darinya dan jarang berkunjung.
Ketika usia 30 tahun, ibu menelpon memberi nasehat mengenai cara menjaga dan merawat anak. Kita dengan megah berkata: “itu cara dulu, sekarang zaman modern”.
40 tahun, ibu menelpon mengingatkan mengenai acara kumpul keluarga di kampung. Kita malah berkata: “kami sibuk, tak ada waktu untuk pulang”.
Menjelang usia kita yang ke-50 tahun, ibu jatuh sakit dan meminta kita menjaganya. Namun, kita bercerita mengenai kesibukan dan berbagai kisah ibu-bapak yang menjadi beban bagi anak di usia senja.
Dan kemudian suatu hari, kita mendapat berita ibu meninggal. Kabar itu mengejutkan bagaikan petir. Dalam lelehan air mata, barulah kita sadar segala perbuatan kita terhadap ibu muncul dalam ingatan satu persatu. Saat itulah datang penyesalan yang menyesakkan.

Dikutip dari : mediaummat edisi 104, Januari 2011.

Sabtu, 09 April 2011

Ibu Bermata Satu


Tersebutlah seorang Ibu Miskin yang tinggal bersama putra tunggalnya di sebuah rumah sederhana. Untuk menghidupi dan menyekolahkan anaknya, ibu tersebut menjual makanan dan menerima pesanan. Suatu hari, sekolah tempat anaknya belajar pesan makanan untuk para guru. Ketika mengantar makanan ke sekolah, ibu itu mampir untuk melihat anaknya yang sedang bermain bersama teman-temannya.
Segera ibu tersebut menjadi pusat perhatian anak-anak. Bahkan sebagian anak mengejek dan mentertawakannya. Anak tersebut sangat malu, mengacuhkan ibunya dan segera lari.
Sepulang sekolah, anak itu langsung menemui ibunya dan bertanya, mengapa ibu datang ke sekolah dan membuat anak itu malu di depan teman-temannya? Ibu itu hanya diam sambil meneteskan air mata. Anak yang sedang marah itu tidak merasa iba.
Dari hari ke hari, anak ini semakin benci kepada ibunya. Ia belajar keras dan berniat ingin segera meninggalkan rumah dan ibunya. Ketika lulus sekolah menengah, ia berhasil mendapatkan beasiswa sekolah di ibu kota. Tanpa menunggu, si anak itu segera pergi.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Ia berhasil lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan pekerjaan layak. Ia memutuskan tinggal di sana karena orang-orang tidak tahu riwayatnya dan ibunya yang bermata satu. Ia memutuskan tak mau berurusan dengan ibunya yang dianggapnya membuatnya malu.
Ia membeli rmah, menikah dan mempunyai anak. Hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya di rumah yang nyaman dan indah. Semuanya terasa menyenangkan sampai suatu hari, seorang ibu bermata satu tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Karena bertahun-tahun tidak bertemu, ibu itu ingin melihat anak dan cucunya.
Ketika berdiri di depan pintu, anak-anak pria itu mentertawakan dan mengejeknya. Pria itu sangat marah dan membentak keras. “Segeralah pergi dari sini! Berani sekali kamu datang ke rumahku dan menakuti anak-anakku”. Ibu itu berdiri mematung, lalu berkata dengan suara tersendat, “maaf, mungkin saya salah alamat” dan segeralah ibu itu pergi dari rumah anaknya.
Waktu terus berlalu. Suatu hari pria tersebut menerima undangan reuni di kampung halamannya. Pria itu datang menghadiri reuni. Sesudah itu, ia mendatangi gubuk reot yang dulu ditinggalkannya bersama ibunya karena ingin tahu. Para tetangga segera berkerumun dan memberitahu, ibunya sudah meninggal. Si pria itu sama sekali tidak sedih. Salah satu tetangga lalu menyampaikan surat yang dititipkan ibunya untuknya.
“Anakku tersayang, setiap saat ibu merindukanmu. Ibu minta maaf datang ke rumahmu dan menakuti anak-anakmu. Ibu sangat senang ketika mendengar kamu akan pulang untuk reuni. Tapi ibu tidak bisa meninggalkan tempat tidur untuk melihatmu. Ibu minta maaf, terus menerus membuatmu malu.
Ibu ingin bercerita. Ketika kamu masih sangat kecil, kamu kecelakaan dan kehilangan satu mata. Sebagai orang tua, ibu tak tega membayangkan kamu tumbuh besar dengan satu mata. Karena itu, ibu memutuskan memberikan satu dari mata ibu kepadamu. Ibu sangat senang, putra ibu bisa melihat dunia baru dengan mata itu”.
Dari ibumu…
Sering terjadi kesenangan, kenyamanan, suka cita dan kebahagiaan yang kita rasakan adalah karena hasil usaha atau pengorbanan dari orang lain. Coba renungkan sejenak orang-orang yang telah mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan bagi Anda. Berterima kasihlah kepada mereka. Lalu bersyukur untuk semua itu. Orang tua sering berkorban dan menderita secara diam-diam untuk kesuksesan dan kebahagiaan anaknya. Senangkan orang tua sekarang juga. Jangan tunggu sampai besok karena kemungkinan sudah sangat terlambat.

Sumber : mediaummat edisi 110, April 2011.